Suntikan Kekalahan


Kesebelasan Jerman dikenal sebagai tim turnamen. Walau di babak penyisihan grup penampilan mereka terseok-seok, mereka terus merangkak dengan perlahan tetapi pasti. Mereka seperti mesin diesel, yang makin lama makin panas dan efektif.

Dalam sejarah, tim turnamen Jerman selalu membuat waswas pendukungnya. Maklum, mereka merambat maju, tetapi dengan mengkas-mengkis. Ingatlah, misalnya, peristiwa di babak penyisihan grup Piala Eropa 2008. Setelah menang lawan Polandia 2-0, Jerman dihajar Kroasia 1-2, dan menang tipis atas Austria 1-0.

Pada Piala Dunia 2002, setelah menang lawan Arab Saudi 8-0, Jerman ditahan seri Irlandia 1-1, baru kemudian menang lawan Kamerun 2-0. Dan pada Piala Dunia 1998, setelah menang 2-0 atas Amerika Serikat, mereka ditahan Yugoslavia seri 2-2 serta lolos setelah mengalahkan Iran 2-0.

Sekarang, tradisi itu terulang kembali. Setelah menggasak Australia 4-0, Jerman ditekuk Serbia 0-1. Toh akhirnya mereka lolos setelah mengalahkan Ghana walau dengan skor yang memprihatinkan, 1-0.


Tim turnamen memang tidak harus selalu menang dan mampu tampil meyakinkan di babak awal. Malah bahaya apabila mereka menunjukkan keunggulannya di babak penyisihan. ”Jika kami menang dua kali, dan bermain hebat, tetapi kemudian tak dapat melanjutkan turnamen lagi, itu sungguh malapetaka,” kata sesepuh bola Jerman, Uwe Seeler. Contoh untuk itu adalah kesebelasan Belanda. Pada masa lalu Belanda selalu menang dan bermain gemilang pada saat awal, tetapi kemudian terpelanting dari turnamen dengan amat cepat.

Jadi ketika Jerman menggasak Australia 4-0 dengan permainannya yang gemilang, tebersit juga kekhawatiran, jangan-jangan Jerman sudah terkena hollandisasi, hebat di awal tapi terdepak tak lama kemudian. ”Jerman hebat, tetapi bukan seperti yang kami kenal,” komentar beberapa orang.

Maka dilihat dari kacamata tim turnamen, kekalahan yang diderita Jerman ketika melawan Serbia patutlah disyukuri. Kekalahan itu membuat Jerman merefleksikan kembali permainannya. Gol yang terlalu awal di gawang Australia membuat pemain Jerman gegabah. Ternyata hal yang sama tak dapat dibuat ketika mereka melawan Serbia. Pertahanan Australia mudah ditembus. Namun, tidak demikian dengan pertahanan Serbia. Ini semua adalah bahan yang membuat Jerman lebih waspada ketika menghadapi Ghana.

Kekalahan oleh Serbia ternyata bisa menjadi suntikan obat yang membangkitkan lagi semangat bola khas Jerman, yakni disiplin, rajin, berdaya tahan, dan efisien. Lalu tentu saja juga semangat ”berusaha menang meski sedang bermain jelek”. ”Kalian bersebelas adalah pemenang,” begitu Joachim Loew menyuntikkan semangat kepada anak-anaknya.

Suntikan kekalahan itu ternyata manjur. Pemain-pemain Jerman bangkit justru karena menghadapi perlawanan Ghana yang sangat sengit. Dan kemenangan atas Ghana malam itu masih memberi lebih, yakni kebangkitan kembali seorang calon bintang mereka yang bernama Mesut Oezil. Seperti ketika melawan Australia, waktu melawan Ghana, Oezil memang menampakkan diri sebagai pemain cemerlang.

Sudah lama Jerman merindukan lahirnya seorang play maker, regisur, dan penyulap bola di lapangan tengah. Mereka iri akan Perancis yang mempunyai Ribery, Brasil yang mempunyai Kaka, Portugal yang mempunyai Ronaldo, serta Argentina yang mempunyai Messi.

”Kami rindu akan pemain bernomor punggung sepuluh, dan sekarang telah menemukannya,” kata Miroslav Klose. Siapa lagi jika bukan Mesut Oezil. ”Messi kami adalah Oezil”, kata Horst Hrubesch, pemain Jerman angkatan 1970-an, yang kini menjadi pelatih U-21 Jerman. Di mata para pengamat bola Jerman, Oezil dianggap campuran dari Guenther Netzer dan Zidane.

Oezil memang bermain dengan gaya dan cara yang khas. Di sekolah-sekolah Persatuan Sepak Bola Jerman (DFP) tak pernah diajarkan gaya dan cara bermain seperti yang dimilikinya. Menurut Oezil, cara dan gaya bermain itu dilatihnya sendiri ketika pada masa kanak-kanak dulu ia bersama kakaknya, Mutlu, bermain bola di lapangan di dekat rumahnya. ”Di samping itu, saya mempelajarinya dengan melihat di televisi,” katanya.

”Uang tak terlalu perlu buat saya. Pada masa kanak-kanak dulu saya suka bola. Juga sekarang, saya bahagia jika boleh bermain bola. Jika melihat bola, saya benar-benar gembira, seperti anak kecil. Pasti saya hanya ingin berhasil, tetapi saya juga ingin menikmati bola,” kata Oezil.

Banyak puja-puji dilayangkan ke Oezil. Kendati demikian, ia tetap menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang rendah hati, pendiam, dan pemalu. Oezil juga dikenal sebagai lelaki yang taat beriman. ”Di kabin, selama lagu nasional dinyanyikan dan menjelang pertandingan, saya selalu berdoa. Saya mendoakan beberapa doa dalam bahasa Arab yang ada dalam Quran, lalu saya mohon, semoga saya selalu sehat. Saya tak pernah melupakan doa. Itu memberi kekuatan dan dapat membuat saya bermain dengan baik,” kata Oezil.

Oezil memang pemalu dan tidak mau sesumbar. Kendati demikian, kini hatinya sedang membara dengan api optimisme untuk bersama dengan Jerman mengalahkan Inggris dalam pertandingan hidup mati di perdelapan final nanti.

Sumber : Kompas/Shindunata

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar